"Maaf, Aku benar-benar tidak ingat…"
Kata-katanya mengoyakku, menembus setiap senti tubuhku dan menyayat-nyayat hatiku. Baru seminggu lalu, kami melihat matahari terbenam dan saling berpelukan. Ia menghiburku saat Aku bertanya mengapa Aku dan sahabatku kini tak saling cocok lagi. Tapi malam ini, pikirannya ada di tempat lain, Ia tidak ingat malam istimewa itu. Mengapa Ia merasa sangat jauh? Apakah Ia tenggelam dalam rasa sakit yang telah begitu lama menghantuinya?
Pada malam hari Ia kadang menangis sampai tertidur, mengingat kata-kata keras ibunya. Ibunya berkata bahwa Ia bodoh, bahwa Ia takkan bisa masuk perguruan tinggi, takkan berhasil dalam hidup. Ibunya memanggilnya pecundang, anak yang mengecewakannya. Bakat seninya sangat jelas, tapi kritik ibunya membuat Ia percaya dirinya tak berbakat, padahal sebenarnya ia memenangkan banyak penghargaan atas karya-karyanya. Yang membuatnya bertahan hidup, katanya kepadaku adalah cinta kami. Setelah kami berteman bertahun-tahun dan kini berkencan, Ia membutuhkanku.
Ia mengandalkanku.
Dalam salah satu suratnya yang kuterima, Ia berkata "Kau seperti keluargaku. Hanya kau. Kita bisa menjadi sebuah keluarga. Apakah kau membutuhkan orang lain? Aku tidak. Tetaplah mencintaiku" tulisnya. Untuk beberapa saat, Aku mempercayainya. Aku berjanji takkan pernah melukainya, takkan pernah meninggalkannya, takkan pernah berhenti mencintainya. Aku akan menjadi keluarganya, orang yang dibutuhkannya pada saat-saat baik dan buruk, orang yang memeluknya ketika ia sakit, dan menyorakinya di jalur perlombaan. Kupikir…. Kalau Aku memeluknya cukup erat, rasa sakitnya akan hilang.
Tapi hubungan kami seperti roller coaster. Kadang Ia adalah seseorang yang paling bahagia yang kukenal – Ia tertawa, bercanda, tersenyum. Aku tahu kalau dia bahagia dari matanya. Sebening kristal dan biru, matanya tak berisi kebohongan. Jika Ia sedang bahagia, matanya berkilauan. Tapi jika sedang sedih, matanya kelihatan suram. Pada hari-hari sedih itu, Ia tidak bercanda, kalau Aku mencoba menghiburnya dengan berbagai macam cara Ia menolak. Ketika sedang sakit hati, yang Ia tahu hanyalah melampiaskan sakit hatinya kepada mereka yang tak layak mendapatkannya. Ia mengucapkan hal-hal yang diketahuinya kejam, dan minta maaf keesokan harinya. Lingkaran itu takkan pernah berakhir – kekejamannya, permintaan maafnya. Tapi Aku tahu mengapa. Meski mencintainya, Aku tak bisa menghapus rasa sakitnya. Hal itu berakar dari peristiwa-peristiwa yang terjadi jauh sebelum Aku mengenalnya. Tak lama kemudian Aku sadar cintaku tidak bisa mengimbangi luka batinnya. Meski menyakitkan, Aku sadar Aku tak bisa menolongnya, Aku harus melepaskannya.
Pada malam ketika Aku memberitahunya bahwa hal itu tak bisa berlanjut, air mataku terasa lebih menyengat dari pada sebelumnya. Ia sekarang akan harus menghadapi ketakutannya yang terburuk. Ia berpikir Aku telah menipunya, bahwa Aku telah berbohong kepadanya ketika Aku memutuskannya. Tapi Aku tidak berbohong kepada siapapun kecuali pada diriku sendiri, karena tadinya Aku yakin yang ia butuhkan hanyalah cintaku. Sekarang cintaku hanya menimbulkan rasa sakit. Kemarin Aku melihatnya untuk pertama kali setelah satu tahun berlalu. Matanya berkilauan, dan dari dalamnya memancar sinar. Kegelapannya mulai menyingkir, karena Ia mengizinkan orang lain memasuki hidupnya, orang yang jauh lebih banyak menolongnya daripada yang pernah bisa kulakukan. Sekarang, Ia melihat bakat istimewa yang dimilikinya, dan meskipun kenangannya yang menyakitkan akan selalu ada bersamanya, Ia sekarang mulai mempercayai dirinya sendiri. Akhirnya Aku sadar akan pelajaran yang berharga ini, Aku sadar bahwa cinta yang sempurna sekalipun tidak bisa melindungi seseorang dari dirinya sendiri. Dan, kadang hal terbaik yang bisa kaulakukan untuk seseorang yang Kau cintai adalah melepaskannya.